PEMANFAATAN LAHAN KRITIS DENGAN LONTAR

PEMANFAATAN LAHAN KRITIS DI DAERAH  KUBU DENGAN BUDIDAYA  TANAMAN LONTAR MELALUI KONSEP TRI HITA KARANA UNTUK MENUNJANG PARIWISATA BALI



 Oleh. 
I Wayan Madiya
Jurusan Pendidikan Kimia, FPMIPA, Undiksha


Latar Belakang Masalah

Kecamatan Kubu memiliki luas wilayah 181,89 km2 merupakan salah satu daerah paling kering (kritis) di Kabupaten Karangasem. Luas lahan kritis di Kecamatan ini kurang lebih 75% dari total luas wilayah. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain: curah hujan yang  rendah, banyak pohon yang digunakan sebagai kayu bakar, dan merupakan daerah bekas letusan gunung Agung pada tahun 1963.

Walaupun daerah Kubu cukup kering dan kritis, namun terkandung  potensi yang perlu mendapat perhatian dari semua pihak. Potensi yang dimiliki berupa kekayaan emas hitam (pasir) dan panorama laut yang luar biasa. Kedua potensi itu bisa dikembangkan menjadi obyek wisata baik itu berupa taman laut maupun tambang emas hitam yang menjulang tinggi seperti bukit. Taman laut yang telah dikembangkan seperti di Desa Tulamben, Kecamatan Kubu, Kabupaten Karangasem. Daerah ini memiliki obyek wisata bawah laut yang sangat menarik wisatawan baik dalam maupun luar negeri. Untuk menunjang pariwisata di daerah ini tidak cukup hanya mengandalkan obyek wisata bahari saja, akan tetapi harus juga ditunjang oleh  faktor lain. Faktor yang dimaksud adalah dengan memanfaatkan sumber daya alam yang dominan kelihatan di sekitar wilayah itu adalah dengan pelestarian, penghijauan dan pemanfaatan tanaman lontar secara optimal menjadi produk seni yang bernilai ekonomi tinggi.

Mengapa harus tanaman lontar?, karena berdasarkan beberapa pertimbangan diantaranya, tanaman lontar (Borassus flabellifer) adalah jenis tanaman yang banyak hidup dan dikembangkan di daerah tropis atau daerah kering yang umumnya di daerah dataran rendah sampai ketinggian 600 m dpl, penyebaran tanaman lontar tidak mengganggu habitat tanaman sela, pembibitan tanaman ini bisa diperoleh dari daerah setempat, biaya yang dibutuhkan untuk pembibitan pohon ini relatif kecil, dan pemanfaatan tanaman lontar bisa dilakukan secara optimal tanpa menebang pohonnya secara langsung sehingga kelestarian lingkungan tetap terjaga (ramah lingkungan). Disamping itu, karena manfaat tanaman ini sangat banyak mulai dari daun sampai akar.

Sejak dahulu daun lontar sudah digunakan oleh leluhur masyarakat Bali untuk menulis sejarah (babad), huruf Bali, sastra Lontar, dan juga digunakan sebagai atap rumah. Bahkan seiring dengan kemajuan peradaban manusia, daun lontar sekarang  digunakan untuk membuat kerajinan tangan yang memiliki nilai religius dan seni yang tinggi seperti pajegan hias, topi dan kipas. Daging buah lontar dimanfaatkan oleh penduduk setempat sebagai makanan tambahan untuk dikonsumsi dan kulit buahnya digunakan sebagai pakan ternak. Sabut buah lontar biasanya digunakan sebagai pewangi dalam pembuatan kue. Selain digunakan sebagai obat pegal linu, tandan bunga atau puji juga disadap air niranya sebagai bahan baku pembuatan gula merah dan minuman beralkohol seperti tuak dan arak. Pelepah pohon lontar biasa digunakan sebagai kandang ternak dan pada lapisan kulit luarnya (Bali ”tali guntung”) diolah menjadi produk kerajinan seperti keranjang dan bakul. Batang tanaman ini dapat diolah menjadi balok kayu sebagai bahan bangunan. Akar pohon lontar bisa dimanfaatkan sebagai produk seni, kayu bakar dan tempat perkembangbiakan tanaman anggrek.

Berdasarkan kenyataan tersebut di atas, maka penulis merasa tertarik untuk menulis sekaligus memberikan alternatif tentang “Pemanfaatan Lahan Kritis di Daerah Kubu Dengan Budidaya Tanaman Lontar Melalui Konsep Tri Hita Karana Untuk Menunjang Pariwisata Bali”. Karena keunggulan dari pohon lontar bisa hidup di daerah kering dan manfaat yang dimiliki sangat banyak mulai dari daun sampai akar. Apabila hal ini dimanfaatkan secara optimal, maka akan menjadi sektor andalan pariwisata Bali dan bahkan tidak mustahil bisa menjadi produk ekspor indonesia karena memiliki nilai ekonomis dan seni yang tinggi.

Komentar